Hasan Arif, "Pemberontakan Padi" Cimareme |
SUARA gaduh memecah keheningan Kampung Cimareme Desa Sukasari Kec, Banyuresmi Kab. Garut. Ratusan orang bersenjata merangsek masuk ke rumah-rumah warga. Menarik ke luar lelaki yang dicurigai, menganiaya yang melawan. Sekelompok orang kemudian berhenti di depan sebuah rumah dekat mesjid. Mereka mendobrak pintu. Seorang lelaki tegap yang tengah salat sunat diberondong peluru dan tersungkur.
Haji Hasan Arif Tubagus Alpani, lelaki itu, meninggal seketika dengan sejumlah luka tembak di tubuhnya. Tujuh orang pengikutnya juga menemui ajal dengan cara yang sama. Kematian Hasan Arif menjadi penutup dari gerakan perlawanan rakyat Cimareme secara terbuka, yang menolak pungutan pajak padi sewenang-wenang yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda.
Peristiwa yang terjadi 91 tahun lalu itu, tepatnya pada 12 Agustus 1918, selalu dikenang dan menjadi bagian penting dalam sejarah warga Cimareme. Sebab itulah bulan Agustus memiliki makna tersendiri bagi masyarakat setempat. Biasanya, setiap tanggal tersebut sejumlah warga melakukan doa bersama di mesjid Cimareme. Mengenang kembali kejadian itu dan mendoakan para syuhada yang gugur di tangan pasukan marsose.
Peristiwa pemberontakan Hasan Arif dan pengikutnya sangat jarang disinggung dalam pengajaran sejarah, khususnya di Jawa Barat. Orang-orang hanya akan mengetahul nama itu jika berkesempatan mengunjungi Museum Mandala Wangsit Siliwangi. Di museum tersebut terdapat beduk, jubah putih dan beberapa senjata tajam, yang berkaitan dengan tokoh tersebut. Namun selebihnya, orang tidak banyak tahu akan perjuangan gigih Hasan Arif.
Cimareme berjarak sekitar 15 km dari pusat kota Garut atau terletak pada 30 derajat arah timur laut dari pusat kota. Dari arah’Bandung, untuk menuju Cimareme bisa belok kiri di betulan Leles. Pada tahun 1918, di kawasan itu ada tiga mesjid yang tersebar di tiga kampung berdekatan. Yaitu Cinareme, Babakan dan Cikadongdong. Mesjid Cimareme saat itu merupakan pusat pengajaran Islam dan berfungsi sebagai pesantren. Di tempat itulah, Hasan Arif menanamkan ajaran Islam yang dikaitkan dengan perjuangan menentang penjajahan. Dia telah tumbuh menjadi tokoh sentral di tengah masyarakat.
Selain inengajarkan ilmu-ilmu agama yang pokok, Hasan Arif juga memberi perhatian khusus kepada ilmu-ilmu 'kadigjayaan’, dan kegiatan kegiatan olah raga. Di Cimareme terdapat perkumpulan sepak bola “Kumpulan Voetbal Merdeka Tani’, dan perkumpulan ilmu bela din pencak silat “Gerak Cepat”. Tokoh yang lahir tahun 1853 itu tampaknya memang mempersiapkan fisik para pengikutnya, untuk sebuah langkah perjuangan yang lebih jauh.
Sedangkan dari sisi politik, Hasan Arif mendirikan sebuah gerakan bawah tanah bernama Cimawa Rame pada tanggal 14 Agustus 1914. Organisasi ini bersifat rahasia, dan terdirni dan tokoh-tokoh teras Cimareme. Di antaranya, Atmaka pemegang urusan siasat (politik), Adikarta alias Haji Manan pemegang urusan kesejahteraan, Adinata alias Haji Manap mengurus soal mantera, Warga alias Haji Hasanuddin mengurus masalah kemanusiaan, H. Syamsuri urusan keagamaan, dan lyiguna urusan perhubungan.
**
PECAHNYA PERANG DUNIA I (1914-1918), telah menambah keparahan kondisi ekonomi dunia. Buruknya situasi ekonomi, tidak saja dirasakan langsung oleh negana-negara pelaku perang, tetapi juga negara lain seperti Indonesia sebagai daerah koloni Belanda. Sejumlah referensi menyebutkan, saat itu hasil bahan mentah dari Indonesia menumpuk dan tidak dapat diekspor. Kehidupan rakyat semakin sengsara. Persediaan terus menipis, sëbab beras impor tidak juga datang. Seperti umumnya daerah lain, Cimareme pun mengalami penderitaan serupa.
Beberapa tahun lampau, saya sempat bertemu dengan salah seorang cucu Hasan Arif bernama Maolani. Meski waktu itu usianya sudah mendekati 90 tahun, namun masih tampak bugar dan daya ingatnya kuat.“Kakek saya terbilang orang berada. Untuk kebutuhan hidup, memiliki 10 bahu sawah. Mungkin karena ekonomi keluarga cukup stabil dan ketokohannya, jika musim paceklik tiba warga sekitar berduyun-duyun ke rumah kakek meminta bantuan makanan,” tutur Maolani yang akrab dipanggil Eyang. Hasan Arif sendiri memiliki 12 anak. Saat kejadian, Maolani berusia sekitar 8 tahun.
Kondisi masyarakat seperti itu, membuat Hasan Arif prihatin, dan menambah keyakinannya untuk terus melawan Belanda. Di tengah hahaya kelaparan yang melanda rakyat, pada 1918 pemerintah kolonial Belanda menerapkan peraturan wajib jual padi. Para petani dipaksa menjual padi kepada pemerintah sebanyak 4 pikul (6,5 kg) untuk setiap satu bahu (700 m2 atau 50 tumbak).
Pemasyarakatan wajib jual padi di Cimareme, dilakukan lurah desa setempat, Wiraatmadja, yang rumahnya bersebelahan dengan kediaman Hasan Arif. Menurut keterangan, hubungan keduanya memang kurang baik, disebabkan perbedaan sikap terhadap penjajah. Dengan tegas, Hasan Arif, menolak kewajiban jual padi. Karena akan mengakibatkan kehidupan rakyat semakin sulit. Meskipun bagi dia sendiri, sebetulnya hal itu tidak memberatkan. Hasan Arif meminta agar sikapnya itu disampaikan kepada Camat Banyuresmi.
Sebenarnya bukan baru saat itu saja, api perlawanan secara tenang-terangan disulut Hasan Arif. Tapi juga ketika Belanda akan membangun jalan baru dengan membendung Situ Cibudug, saat dia masih berusia remaja. Tindakan penjajah Belanda akan menyebabkan sawah-sawah di Desa Sukasari, Leuwigoong dan Dungusiku akan kekurangan air. Hampir saja dia ditembak kontrolur Belanda yang sudah menodongkan pistolnya.
Kepada Camat Banyuresmi, Hasan Arif kembali menandaskan keberatannya. Diusulkannya, agar setoran einpat pikul per bahu dikurangi menjadi satu pikul per bahu. Namun camat tetap bersikeras pada putusan pemerintah. Ketika camat pulang dengan penuh kekesalan, Hasan Arif amat menyadari bagaimana posisinya saat itu.
Dalam situasi yang semakin gawat, Hasan Arif masih menawarkan jalan damai dengan berkirim surat kepada Bupati Garut RAA Suria Kartalegawa. Isinya, memohon agar pemerintah mempentimbangkan usulan masyarakat Cimareme. Menunggu jawaban dari bupati, Hasan Arif menyiapkan seluruh kekuatan. Termasuk meminta bantuan dari kawan-kawannya di Ciamis, Tasilmalaya, Cirebon, Karawang dan lain-lain.
Bukan jawaban bupati yang diterima warga Cimareme, namun yang datang justeru Wedana Leles, R. Kusumahardja. Wedana mengancam akan menembak mati Hasan Anif jika tidak melaksanakan ketentuan jual padi kepada pemenintah. “Saya hanya menuntut keadilan dan berupaya meringankan penderitaan nakyat,” ujar Hasan Arif, seperti tendapat dalam buku-buku yang menuliskan perjuangannya.
Sepulang dari pertemuan dengan Hasan Arif, Wedana membuat laporan kepada Bupati Garut yang menyebutkan, tokoh beserta para warga Cimaneme akan melakukan pemberontakan. Bupati selanjutnya menyampaikan laponan kepada Asisten Residen Garut, L. van Weeldern. yang menyampaikannya kembali kepada Residen. Priangan Timun, Jhr. L Dc Steurs di Bandung.
Kubu Hasan Arif pun tidak tinggal diam. Mereka mengumpulkan senjata-senjata tajam, dan mengenakan kain putih yang digunakan sebagai jubah. “Jika seseorang mati dalam pertempuran nanti, maka kain putih ini sudah berlaku sebagai kain kafan pembungkus jenazah,” ujan’ Hasan Arif kepada pengikutnya. Dalam musyawanah terakhir, melawan sekuatnya kepada penjajah Belanda disepakati secara bulat.
**
JUMAT 9 Agustus 1918, sejak pukul 09.00 di Cimareme tampak pemandangan yang luar biasa. Sekitar 6.000 orang berasal dan berbagai daerah di Jabar sudah berbaris memakai kain putih, lengkap dengan senjata tajam. Mereka sudah tahu pemerintah Belanda akan menangkap Hasan Arif dkk. Karena itu perlawanan akan dilakukan. Sedangkan dan pihak Belanda hanya datang sekitar 60 orang Veld Politie (Polisi Desa). Tampak pula Asisten Residen, bupati Garut, penghulu dan lainnya.
Catatan-catatan yang bersumber dari pihak Belanda menyebutkan, keadaan saat itu benar-benar tegang. Hasan Arif herdiri di serambi rumahnya dengan pakaian putih-putih, menanti kedatangan romboñgan Asisten Residen. Hasan Arif dikawal tiga pernuda yaitu Wijatna, Suwardi dan Nurhamid. Ada pula Atmaka dan para kiai sahabatnya.
Dalam suasana panas, kembali terjadi perundingan antara Hasan Arif dengan Asisten Residen tentang jual padi. Menyadari keadaan yang tidak menguntungkan, Bupati berjanji berjanji akan membawa usulan Hasan Arif kepada pemerintah di Batavia (Jakarta). Tapi terlebih dahulu bupati meminta agar warga yang hadir bubar, dan pulang ke tempat masing-masing.
Ternyata niat baik warga untuk membubarkan diri, dijadikan kesempatan penjajah untuk melaksanakan niat busuknya. Terbukti, dua hari setelah itu sejumlah marsose dari Bandung tiba di Garut bersama residen. Kubu Hasan Arif sendiri, tidak dalam keadaan siap perang. Tenaga bantuan sudah pulang ke daerah masing-masing.
Sebanyak 300 orang marsose, pada Senin 12 Agustus 1918 menerobos keheningan Kampung Cimareme dan mengepung rumah Hasan Arif. Sebagian lagi melakukan razia ke rumah-rumah penduduk. Pasukan marsose mengultimatum agar Hasan Arif menyerah. Tembakan-tembakan mulai terdengar. Lalu sejumlah pasukan mendobrak pintu numah. Hasan Arif yang tengah salat sunat ditembak dan gugur. Praktis perlawanan sangat tidak berimbang.
Dari catatan yang ada, selanyak 7 orang tewas, 22 orang lüka akibat tembakan dan 33 orang lainnya ditawan. Penjatuhan hukuman dilakukan pada tahun 1919, setélah pihak keluarga dengan gigih mengusulkan kepada Gubernur Jenderal di Bogor untuk memproses tawanan sesuai hukum. Hukuman dijatuhkan antara lain kepada H. Gozali (15 tahun penjara di P. Ai dan hingga sekarang tidak diketahui kabamya), Atmaka, Haji Manan, Haji Manaf, dan H. Hasanudin, (masing-masing 5 tahun di Sawahlunto, Sumbar). H. Syamsuri .dan lyigitna (5 th di Glodok Jakarta). Masih banyak lagi yang menjalani hukuman penjara setelah penistiwa Cimareme.
Jasad Hasan Arif telah berbaring tenang di Pasir Astana Gabus, sekitar 1 km di selatan Kampung Cimareme. Di kompleks berukuran 8 x 8 meter itu bersemayam pula delapan jasad lainnya. Antara lain Atmaka dan isterinya, Eha yang tidak lain puteri Hasan Arif. (Dulyani,S.Pd.I)***
Haji Hasan Arif Tubagus Alpani, lelaki itu, meninggal seketika dengan sejumlah luka tembak di tubuhnya. Tujuh orang pengikutnya juga menemui ajal dengan cara yang sama. Kematian Hasan Arif menjadi penutup dari gerakan perlawanan rakyat Cimareme secara terbuka, yang menolak pungutan pajak padi sewenang-wenang yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda.
Peristiwa yang terjadi 91 tahun lalu itu, tepatnya pada 12 Agustus 1918, selalu dikenang dan menjadi bagian penting dalam sejarah warga Cimareme. Sebab itulah bulan Agustus memiliki makna tersendiri bagi masyarakat setempat. Biasanya, setiap tanggal tersebut sejumlah warga melakukan doa bersama di mesjid Cimareme. Mengenang kembali kejadian itu dan mendoakan para syuhada yang gugur di tangan pasukan marsose.
Peristiwa pemberontakan Hasan Arif dan pengikutnya sangat jarang disinggung dalam pengajaran sejarah, khususnya di Jawa Barat. Orang-orang hanya akan mengetahul nama itu jika berkesempatan mengunjungi Museum Mandala Wangsit Siliwangi. Di museum tersebut terdapat beduk, jubah putih dan beberapa senjata tajam, yang berkaitan dengan tokoh tersebut. Namun selebihnya, orang tidak banyak tahu akan perjuangan gigih Hasan Arif.
Cimareme berjarak sekitar 15 km dari pusat kota Garut atau terletak pada 30 derajat arah timur laut dari pusat kota. Dari arah’Bandung, untuk menuju Cimareme bisa belok kiri di betulan Leles. Pada tahun 1918, di kawasan itu ada tiga mesjid yang tersebar di tiga kampung berdekatan. Yaitu Cinareme, Babakan dan Cikadongdong. Mesjid Cimareme saat itu merupakan pusat pengajaran Islam dan berfungsi sebagai pesantren. Di tempat itulah, Hasan Arif menanamkan ajaran Islam yang dikaitkan dengan perjuangan menentang penjajahan. Dia telah tumbuh menjadi tokoh sentral di tengah masyarakat.
Selain inengajarkan ilmu-ilmu agama yang pokok, Hasan Arif juga memberi perhatian khusus kepada ilmu-ilmu 'kadigjayaan’, dan kegiatan kegiatan olah raga. Di Cimareme terdapat perkumpulan sepak bola “Kumpulan Voetbal Merdeka Tani’, dan perkumpulan ilmu bela din pencak silat “Gerak Cepat”. Tokoh yang lahir tahun 1853 itu tampaknya memang mempersiapkan fisik para pengikutnya, untuk sebuah langkah perjuangan yang lebih jauh.
Sedangkan dari sisi politik, Hasan Arif mendirikan sebuah gerakan bawah tanah bernama Cimawa Rame pada tanggal 14 Agustus 1914. Organisasi ini bersifat rahasia, dan terdirni dan tokoh-tokoh teras Cimareme. Di antaranya, Atmaka pemegang urusan siasat (politik), Adikarta alias Haji Manan pemegang urusan kesejahteraan, Adinata alias Haji Manap mengurus soal mantera, Warga alias Haji Hasanuddin mengurus masalah kemanusiaan, H. Syamsuri urusan keagamaan, dan lyiguna urusan perhubungan.
**
PECAHNYA PERANG DUNIA I (1914-1918), telah menambah keparahan kondisi ekonomi dunia. Buruknya situasi ekonomi, tidak saja dirasakan langsung oleh negana-negara pelaku perang, tetapi juga negara lain seperti Indonesia sebagai daerah koloni Belanda. Sejumlah referensi menyebutkan, saat itu hasil bahan mentah dari Indonesia menumpuk dan tidak dapat diekspor. Kehidupan rakyat semakin sengsara. Persediaan terus menipis, sëbab beras impor tidak juga datang. Seperti umumnya daerah lain, Cimareme pun mengalami penderitaan serupa.
Beberapa tahun lampau, saya sempat bertemu dengan salah seorang cucu Hasan Arif bernama Maolani. Meski waktu itu usianya sudah mendekati 90 tahun, namun masih tampak bugar dan daya ingatnya kuat.“Kakek saya terbilang orang berada. Untuk kebutuhan hidup, memiliki 10 bahu sawah. Mungkin karena ekonomi keluarga cukup stabil dan ketokohannya, jika musim paceklik tiba warga sekitar berduyun-duyun ke rumah kakek meminta bantuan makanan,” tutur Maolani yang akrab dipanggil Eyang. Hasan Arif sendiri memiliki 12 anak. Saat kejadian, Maolani berusia sekitar 8 tahun.
Kondisi masyarakat seperti itu, membuat Hasan Arif prihatin, dan menambah keyakinannya untuk terus melawan Belanda. Di tengah hahaya kelaparan yang melanda rakyat, pada 1918 pemerintah kolonial Belanda menerapkan peraturan wajib jual padi. Para petani dipaksa menjual padi kepada pemerintah sebanyak 4 pikul (6,5 kg) untuk setiap satu bahu (700 m2 atau 50 tumbak).
Pemasyarakatan wajib jual padi di Cimareme, dilakukan lurah desa setempat, Wiraatmadja, yang rumahnya bersebelahan dengan kediaman Hasan Arif. Menurut keterangan, hubungan keduanya memang kurang baik, disebabkan perbedaan sikap terhadap penjajah. Dengan tegas, Hasan Arif, menolak kewajiban jual padi. Karena akan mengakibatkan kehidupan rakyat semakin sulit. Meskipun bagi dia sendiri, sebetulnya hal itu tidak memberatkan. Hasan Arif meminta agar sikapnya itu disampaikan kepada Camat Banyuresmi.
Sebenarnya bukan baru saat itu saja, api perlawanan secara tenang-terangan disulut Hasan Arif. Tapi juga ketika Belanda akan membangun jalan baru dengan membendung Situ Cibudug, saat dia masih berusia remaja. Tindakan penjajah Belanda akan menyebabkan sawah-sawah di Desa Sukasari, Leuwigoong dan Dungusiku akan kekurangan air. Hampir saja dia ditembak kontrolur Belanda yang sudah menodongkan pistolnya.
Kepada Camat Banyuresmi, Hasan Arif kembali menandaskan keberatannya. Diusulkannya, agar setoran einpat pikul per bahu dikurangi menjadi satu pikul per bahu. Namun camat tetap bersikeras pada putusan pemerintah. Ketika camat pulang dengan penuh kekesalan, Hasan Arif amat menyadari bagaimana posisinya saat itu.
Dalam situasi yang semakin gawat, Hasan Arif masih menawarkan jalan damai dengan berkirim surat kepada Bupati Garut RAA Suria Kartalegawa. Isinya, memohon agar pemerintah mempentimbangkan usulan masyarakat Cimareme. Menunggu jawaban dari bupati, Hasan Arif menyiapkan seluruh kekuatan. Termasuk meminta bantuan dari kawan-kawannya di Ciamis, Tasilmalaya, Cirebon, Karawang dan lain-lain.
Bukan jawaban bupati yang diterima warga Cimareme, namun yang datang justeru Wedana Leles, R. Kusumahardja. Wedana mengancam akan menembak mati Hasan Anif jika tidak melaksanakan ketentuan jual padi kepada pemenintah. “Saya hanya menuntut keadilan dan berupaya meringankan penderitaan nakyat,” ujar Hasan Arif, seperti tendapat dalam buku-buku yang menuliskan perjuangannya.
Sepulang dari pertemuan dengan Hasan Arif, Wedana membuat laporan kepada Bupati Garut yang menyebutkan, tokoh beserta para warga Cimaneme akan melakukan pemberontakan. Bupati selanjutnya menyampaikan laponan kepada Asisten Residen Garut, L. van Weeldern. yang menyampaikannya kembali kepada Residen. Priangan Timun, Jhr. L Dc Steurs di Bandung.
Kubu Hasan Arif pun tidak tinggal diam. Mereka mengumpulkan senjata-senjata tajam, dan mengenakan kain putih yang digunakan sebagai jubah. “Jika seseorang mati dalam pertempuran nanti, maka kain putih ini sudah berlaku sebagai kain kafan pembungkus jenazah,” ujan’ Hasan Arif kepada pengikutnya. Dalam musyawanah terakhir, melawan sekuatnya kepada penjajah Belanda disepakati secara bulat.
**
JUMAT 9 Agustus 1918, sejak pukul 09.00 di Cimareme tampak pemandangan yang luar biasa. Sekitar 6.000 orang berasal dan berbagai daerah di Jabar sudah berbaris memakai kain putih, lengkap dengan senjata tajam. Mereka sudah tahu pemerintah Belanda akan menangkap Hasan Arif dkk. Karena itu perlawanan akan dilakukan. Sedangkan dan pihak Belanda hanya datang sekitar 60 orang Veld Politie (Polisi Desa). Tampak pula Asisten Residen, bupati Garut, penghulu dan lainnya.
Catatan-catatan yang bersumber dari pihak Belanda menyebutkan, keadaan saat itu benar-benar tegang. Hasan Arif herdiri di serambi rumahnya dengan pakaian putih-putih, menanti kedatangan romboñgan Asisten Residen. Hasan Arif dikawal tiga pernuda yaitu Wijatna, Suwardi dan Nurhamid. Ada pula Atmaka dan para kiai sahabatnya.
Dalam suasana panas, kembali terjadi perundingan antara Hasan Arif dengan Asisten Residen tentang jual padi. Menyadari keadaan yang tidak menguntungkan, Bupati berjanji berjanji akan membawa usulan Hasan Arif kepada pemerintah di Batavia (Jakarta). Tapi terlebih dahulu bupati meminta agar warga yang hadir bubar, dan pulang ke tempat masing-masing.
Ternyata niat baik warga untuk membubarkan diri, dijadikan kesempatan penjajah untuk melaksanakan niat busuknya. Terbukti, dua hari setelah itu sejumlah marsose dari Bandung tiba di Garut bersama residen. Kubu Hasan Arif sendiri, tidak dalam keadaan siap perang. Tenaga bantuan sudah pulang ke daerah masing-masing.
Sebanyak 300 orang marsose, pada Senin 12 Agustus 1918 menerobos keheningan Kampung Cimareme dan mengepung rumah Hasan Arif. Sebagian lagi melakukan razia ke rumah-rumah penduduk. Pasukan marsose mengultimatum agar Hasan Arif menyerah. Tembakan-tembakan mulai terdengar. Lalu sejumlah pasukan mendobrak pintu numah. Hasan Arif yang tengah salat sunat ditembak dan gugur. Praktis perlawanan sangat tidak berimbang.
Dari catatan yang ada, selanyak 7 orang tewas, 22 orang lüka akibat tembakan dan 33 orang lainnya ditawan. Penjatuhan hukuman dilakukan pada tahun 1919, setélah pihak keluarga dengan gigih mengusulkan kepada Gubernur Jenderal di Bogor untuk memproses tawanan sesuai hukum. Hukuman dijatuhkan antara lain kepada H. Gozali (15 tahun penjara di P. Ai dan hingga sekarang tidak diketahui kabamya), Atmaka, Haji Manan, Haji Manaf, dan H. Hasanudin, (masing-masing 5 tahun di Sawahlunto, Sumbar). H. Syamsuri .dan lyigitna (5 th di Glodok Jakarta). Masih banyak lagi yang menjalani hukuman penjara setelah penistiwa Cimareme.
Jasad Hasan Arif telah berbaring tenang di Pasir Astana Gabus, sekitar 1 km di selatan Kampung Cimareme. Di kompleks berukuran 8 x 8 meter itu bersemayam pula delapan jasad lainnya. Antara lain Atmaka dan isterinya, Eha yang tidak lain puteri Hasan Arif. (Dulyani,S.Pd.I)***
alhamdulillah uyut ku masih di kenang dan bnyak yg mendoakan .terima kasih bnyak yg sudah mengEKSPOS singkat ini menambah pengetahuan saya ,
BalasHapusMohon maaf. Tulisan tentang Haji Hasan Arif ini, adalah tulisan saya. Sudah dipublikasikan di wall Facebook saya tertanggal 15 Agustus 2009. Seharusnya, jika mengutip utuh tulisan seperti ini, dicantumkan nama penulis aslinya. Terimakasih.
BalasHapusJd penulis nya akang ?
HapusIzin share di infobanyuresmi
BalasHapus